"Niteni, Nirokke, Nambahi" – Ki Hajar Dewantara
PENDAPA AGUNG TAMANSISWA
Perguruan Tamansiswa pertama kali didirikan di Yogyakarta, yang dahulu dikenal dengan nama Mataram. Hari dan tanggal berdirinya ialah hari Senin Kliwon, tanggal 3 Juli 1922, yang bersamaan dengan tanggal 8 bulan Zulkaidah tahun Ehe 1852 dan tahun Hijrah 1348. Karena RM. Suwardi Suryaningrat diserahi tugas oleh Sarasehan "Selasa Kliwonan" mengelola pendidikan anak-anak maka bagian perguruan yang pertama kali didirikan adalah Taman Lare (Taman Indria). Pendidikan dimulai dengan satu kelas dengan jumlah peserta didik sebanyak 25 anak. Gedung perguruan terletak di Kampung Tanjung, yang sekarang diberi nama jalan Gajah Mada (Station Weg) Nomor 28 dan 30 Yogyakarta, yang sekarang ini dipakai oleh Yayasan Taman Ibu untuk persekolahan. Perguruan Tamansiswa terus berkembang dan jumlah peserta didiknya juga terus bertambah, maka diperlukan tanah pekarangan yang luas untuk menampung jumlah siswa yang terus bertambah besar tersebut.
Untuk kepentingan ini Tamansiswa Yogyakarta yang waktu itu berkedudukan di Jln. Stasiun berusaha membeli tanah pekarangan yang luas. Maka pada tanggal 14 Agustus 1935, dapatlah dibeli sebuah tanah pekarangan dengan rumah beserta isinya yang teletak di Jln. Wirogunan (Sekarang Jln. Tamansiswa) nomor 31-33 Yogyakarta. Luas bangunan 300 m2, berdiri di atas tanah 2.720 m2. Uang yang dipakai untuk membeli pekarangan tersebut diperoleh dari “Bank Nasional” yang dibayar kembali dengan bunga yang sangat rendah. Pada waktu itu yang menjadi Ketua Majelis Luhur adalah Ki Sudarminta dan pimpinan Bank Nasional adalah Ki R. Rudjito.
Secara berangsur-angsur perguruan pindah dari Jln. Gajah Mada dan sekitarnya ke tempat baru (Jln. Tamansiswa) nomor 31-33 Yogyakarta. Di tempat yang baru ini ruangan untuk kelas jumlahnya lebih banyak daripada tempat sebelumnya. Sedikit demi sedikit perkembangan itu diperluas dengan membeli tanah disektarnya Ki Hadjar Dewantara sekeluarga belum pindah. beliau menginginkan kepindahannya akan dilakukan bersamaan dengan terwujudnya sebuah Pendapa dalam komplek baru tersebut. Bagi Tamansiswa Pendapa adalah sebuah tempat yang diliputi suasana keluhuran budi. Dengan suasana tersebut akan terciptalah sebuah kedalaman, kekuatan dan keluhuran budi manusia.
Kemudian direncanakan pembuatan pendapa, yang memerlukan biaya yang cukup besar. Anggaran yang diperkirakan untuk mendirikan pendapa sebesar f 4.000,00 (empat ribu gulden). Salah satu jalan untuk memperoleh uang itu ialah dengan cara pengumpulan dana dari murid-murid Tamansiswa. Pada Januari 1936 Majelis Luhur mengumumkan pemungutan sokongan “Benggol bulanan” dari murid-murid Taman Siswa di semua cabang yang ada di Indonesia.
Untuk mewujudkan gagasan Ki Hadjar Dewantara dalam mendirikan Pendapa, maka dibentuklah sebuah komisi Pendiri Pendapa, yang terdiri atas :
Ketua | : | Ki R. Roedjito ( OLMIJ Boemi poetra 1912 ) |
Wakil ketua | : | BPH Soerjodiningrat |
Perencana | : | GPH Tedjokoesomo Ir. Soeratin sosrosoegondo |
Pembantu | : | sdr. Karti Kartisoeseno |
Pelaksana | : | R. Sindoetomo, arsitek |
Pada tanggal 10 Juli 1938 dilangsungkan peletakan batu pertama dalam pembangunan Pendapa Pusat Tamansiswa. Sebelum upacara tersebut dimulai, Ki Hadjar Dewantara menerangkan perlunya Tamansiswa mempunyai Pendapa, dan menyebutkan pula nama-nama yang berjasa dalam mendirikan bangunan pendapa ini, di antaranya ialah:
Ki Hadjar Dewantara pada kesempatan tersebut juga membacakan piagam. Isi piagam antara lain bahwa pada hari Ahad Legi, tanggal 12 Jumadilawal, tahun 1869 Saka (1357 Hijrah, wulan Adi, bersamaan dengan hari bulan 10 Juli 1938 pukul 7.15 pagi–pagi, Nyi Hadjar Dewantara telah meletakkan batu pertama pembangunan Pendapa Tamansiswa. Nyi Hadjar Dewantara bertindak karena permintaan Ki Hadjar Dewantara dan mewakili semua orang yang turut mendirikan “Wakaf Merdeka” dari Persatun Tamansiswa. Peletakan batu pertama tersebut disaksikan oleh orang-orang yang boleh dianggap mewakili segenap golongan dari masyarakat Yogyakarta yang bersahabat dengan Perguruan Kebangsaan Tamansiswa.
Pada hari Selasa Kliwon, 2 Ruwah 1889 atau 27 September 1938, diadakan upacara pemasangan paku pada molo, yang dilakukan oleh B.P.H. Surjodiningrat.
Pada tanggal 16 November 1938, dilaksanakan upacara pembukaan pendapa secara resmi yang dilakukan oleh Nyi Hadjar Dewantara, dengan mengucapkan mantera “Rawe-rawe Rantas”, maka lepaslah janur dan bunga melati yang terpancang di pendapa. Hal ini melambangkan bahwa dengan keteguhan iman, segala perintang yang menghalangi jalannya Tamansiswa akan tidak berdaya dan kemudiaan mati dengan sendirinya. Kemudian mengucapkan mantera “Malang-malang Putung”, maka dipatahkan batang kayu yang terpancang di Pendapa. Hal ini melambangkan bahwa penghalang Tamansiswa akan patah. Selanjutnya diikuti dengan pernyataan tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dimulai dengan mengalunkan tembang Puspanyala dan Mega Mendung oleh murid-murid Tamansiswa.
Bangunan Pendapa berbentuk joglo, suatu gaya arsitektur khas daerah Jawa – Yogyakarta, ukuran pendapa 17m x 17m. Lantai terletak satu meter di atas tanah. Tinggi pendapa 12 meter. Bahan bangunan seluruhnya berkwualitas tinggi. Cara mengerjakannya penuh penelitian disertai dedikasi tinggi. sekitar tahun 1952 Majelis Luhur berhasil memperluas pendapa. Perluasan dilakukan dengan menambah:
Setelah upacara pembukaan pendapa selesai, dilanjutkan dengan Rapat Besar Umum (Kongres) Tamansiswa Ke III yang berlangsung pada tanggal 16-22 November 1938. sejak saat itu bila Tamansiswa menyelenggarakan kongresnya, kegiatan tersebut berlangsung dibawah naungan Pendapa Agung Tamansiswa. Bersamaan dengan peresmian pendapa, Ki Hadjar Dewantara beserta keluarga menempati rumah di jln. Tamansiswa 31 yang kini dijadikan Museum Dewantara Kirti Griya.
Pendapa Agung Tamansiswa yang didirikan oleh warga Tamansiswa pada tahun 1938 tersebut merupakan monumen yang tidak terpisahkan dengan Museum Dewantara Kirti Griya.
Pada waktu peresmian pendapa itu yang bersamaan dengan pembukaan Kongres ke III, diresmikan pula panji-panji Tamansiswa. Panji- panji itu berbentuk segi panjang berukuran 50 X 75 cm, menyerupai perisai dan berisi lambang Tamansiswa. Panji-panj ini melukiskan secara simbolik dasar perjuangan Tamansiswa dalam mencapai cita-citanya.
Di sebelah utara pendapa, agak menonjol kemuka terdapat rumah yang dijadikan tempat kediaman Ki Hadjar Dewantara. Tempat ini dikenal dengan nama Padepokan. Disekitar padepokan tersebut terdapat tanaman dan pohon-pohon yang rindang daunnya, sehingga memberikan kesan suasana yang sejuk dan damai, apabila seseorang memasuki halaman tersebut. Di dekatnya terdapat asrama puteri yang diberi nama Wismarini, sedang agak jauh di belakang terdapat asrama untuk anak-anak pria yang diberi nama Wisma Prasaja. Ruangan kelas untuk belajar anak-anak terdapat di sekeliling Pendapa.
Beberapa tahun kemudian sesudah Tamansiswa Yogyakarta semakin berkembang, beberapa tanah yang letaknya di sebelah timur pendapa disela oleh beberapa pekarangan milik orang lain dibeli oleh Tamansiswa dan dipakai untuk kelas-kelas dan lapangan olah raga. Dewasa ini disebelah selatan pendapa dibangun sebuah Gedung yang cukup megah dan dipergunakan untuk perkuliahan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) dan perkantoran Majelis Luhur.
Sesudah Ki Hadjar Dewantara pindah ke padepokan baru yang terletak di Jl. Muja-muju pada tahun 1953, maka pandepokan lama dipakai untuk rumah tamu dan sesudah Ki Hadjar wafat, gedung tersebut dijadikan museum, tempat benda-benda bersejarah yang dipergunakan oleh Ki Hadjar selama berjuang. Padepokan di Muja-muju didirikan atas sumbangsih seluruh keluarga Tamansiswa, dipersembahkan kepada bapaknya yang sangat dicintai dan dihormati. Ketika Ki Hadjar mendapat rumah dari Pemerintah RI karena diangkat menjadi pahlawan, maka rumah itu didirikan di belakang Pandepokan Muja-muju.
Demikianlah sedikit gambaran pendirian Pendapa Tamansiswa. Menurut Ki Hadjar Dewantara pendapa itu mempunyai arti yang penting bagi Perguruan Kebangsaan Tamansiswa sebagai alat pertaliaan keluarga yang penuh suasana kebatinan, sehingga dengan sendirinya dapat memperdalam, memperkuat serta mempertinggi budi dan satu-satunya dan sekalian anggota keluarga.
Daftar Pustaka: