Pidato Ki Prof. Sri-Edi Swasono Di Kongres Sunda 2020 - "Memperingati Deklarasi Djuanda"

Memperingati Deklarasi Djuanda:
PEMIKIRAN BESAR
DJUANDA KARTAWIJAYA
Tentang
WAWASAN NUSANTARA
Sri-Edi Swasono
Pertama-tama saya ucapkan Selamat Hari Nusantara 13 Desember 2020. Saya mengucapkan terima kasih bahwa saya disertakan dalam Kongres Sunda 2020 sebagai Keynote Speaker dalam Kongres ini. Saya sebetulnya bertanya-tanya mengapa Panitia meminta saya untuk menjadi Keynote Speaker, padahal saya bukan ahli kelautan/Wawasan Nusantara. Saya memikirkan mustinya Pak Hasjim Djalal atau Nugroho Wisnumurti (sahabat sekelas saya di SD Solo) sebagai tokoh-tokoh yang lebih tepat untuk menjadi Keynote Speaker
Perkenankan saya mulai dengan mengemukakan
sejarah agak ke belakang dalam dimensi nasionalisme
Indonesia
I. Pada tahun 1905 tentara Jepang Tsushima memporakporandakan tentara Rusia. Kemenangan Jepang atas Rusia ini ditandai sebagai “kebangkitan Asia”.
II. Imbasnya, tiga tahun kemudian, pada 20 Mei 1908, lahirlah gerakan nasional Indonesia, Boedi Oetomo, yang selanjutnya tanggal 20 Mei ini kita sebut sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tahun.
III. Pada tahun 1908, enam bulan setelah berdirinya Boedi Oetomo, Indische Vereniging didirikan di lingkungan mahasiswa Indonesia di Holand, dan pada tahun 1922 nama Indische Vereniging dirubah menjadi Indonesische Vereniging. Nama baru ini pada saat yang bersamaan mengetengahkan nama politis yang ditujukan untuk mengabdi pada Ibu Pertiwi. Majalah Hindia Putra pun dirubah namanya menjadi majalah Indonesia Merdeka.
IV. Pada tahun 1927 Mohammad Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia, dan tiga kawannya ditangkap, dipenjarakan dan diadili pada tahun 1928 di Pengadilan Den Haag. Pembelaan (pleidooi) Hatta berjudul Indonesiё Vrij (Indonesia Merdeka). Dua tahun kemudian, pada tahun 1930 Soekarno pun diadili dan dipenjarakan di Bandung dengan pembelaannya yang berjudul Indonesiё Klacht Aan (Indonesia Menggugat).
V. Pada tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta diselenggarakan Sumpah Pemuda, sebagai salah satu tonggak utama dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Dalam Sumpah Pemuda ini ditegaskan perkataan “Bangsa Indonesia” (yaitu: “…mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia”).
VI. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menegaskan kebangsaan Indonesia:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan
d.l.l diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam
tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17 Agustus tahun 1945
Atas nama Bangsa Indonesia
Soekarno – Hatta
VII. Tentang “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l.” dalam Proklamasi, ditindak-lanjuti: pada tanggal 27 Desember 1949 disetujui Perjanjian KMB yang 8 butir keputusan, antara lain butir (1). Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya tanpa syarat dan tidak dapat dicabut kembali. (2). Penyerahan kedaulatan itu akan diberlakukan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949. (3). Tentang Irian Barat agar dirundingkan lagi dalam waktu satu tahun setelah penyerahan kedaulatan, dst.dst.
VIII. Barangkali “hal-hal yang mengenai pemindahan
kekuasaan d.l.l.” dalam Proklamasi juga berlanjut
dalam wujud Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957.
“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan
yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian
pulau-pulau yang termasuk dataran Negara
Republik Indonesia, dengan tidak memandang
luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang
wajar daripada wilayah daratan Negara Republik
Indonesia dan dengan demikian merupakan
bagian dari parairan pedalaman atau perairan
nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak
daripada Negara Republik Indonesia.
Lalu lintas
yang damai di perairan pedalaman ini, bagi
kapal-kapal asing terjamin selama dan sekedar
tidak bertentangan dengan kedaulatan dan
keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas
laut teritorial yang lebarnya 12 mill diukur dari
garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang
terluar daripada pulau-pulau Negara Republik
Indonesia akan ditentukan dengan UndangUndang.
Suatu deklarasi yang cermat, hebat, dan
sekaligus monumental. Dengan dikeluarkannya
Deklarasi Pemerintah RI 13 Desember 1957, maka
Ordonansi Hindia-Belanda tahun 1930 tidak berlaku
lagi di Indonesia dan garis teritorial laut Indonesia yang
sebelumnya 3 mill menjadi 12 mill. Wilayah
kedaulatan Indonesia yang semula sekitar 1,9 juta
kilometer persegi, menjadi lebih luas 2,5 kali lipat, dari
2,027,087 kilometer persegi menjadi 5,193,250
kilometer persegi, tidak termasuk Irian Barat.
Dikemukakan oleh Nugroho Wisnumurti suatu
catatan sejarah yang penting: deklarasi Pemerintah
RI/Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 di atas
menunjukkan peranan yang menentukan dari Pak
Chairul Saleh sebagai pendorong utama lahirnya
Prinsip Negara Kepulauan dan Mochtar Kusumaatmadja adalah konseptor dari Prinsip Negara
Kepulauan ini.
Selanjutnya Deklarasi Pemerintah RI yang
disebut Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang
konseptornya adalah Mochtar Kusuma-atmadja itu
dituangkan sebagai UU No.4/Prp Tahun 1960 Tentang
Perairan Indonesia. (Yang saat itu belum diakui oleh
dunia internasional). Konsep yang kemudian dikenal
sebagai “Wawasan Nusantara”, yang memandang
Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah bangsa
Indonesia dan Negara yang utuh, darat dan lautnya
tidak terpisah, diperjuangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja pada konferensi-konferensi PBB tentang
hukum laut internasional. Peran Mochtar Kusumaatmadja sangat menonjol dan menentukan.
IX. Ujung perjuangan yang sangat panjang, selama 25
tahun melalui berbagai perjuangan berat dengan
dengan kegigihan untuk memperoleh pengakuan
internasional di PBB itu, akhirnya Indonesia
memperoleh keberhasilan dan merupakan suatu
“kemenangan”, yaitu pada UNCLOS III (United
Nations Conventions on the Law of the Sea), di
Montego Bay, Jamaica, pada bulan Desember 1982.
Para pimpinan heroik pada Konferensi Hukum
Laut PBB ke-III ini adalah Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Ketua) yang pada saat itu menjabat 5 sebagai
Menteri Kehakiman RI; Duta Besar Djajadiningrat
(Wakil Ketua); Duta Besar Chaidir Anwar Sani (Wakil
Ketua); Duta Besar Abdulah Kamil (Wakil Ketua);
Marsekal Madya Soedarmono (Wakil Ketua);
Marsekal Madya Subroto Yudono (Wakil Ketua); Duta
Besar Dr. Hasjim Djalal (Wakil Ketua). Para anggota
antara lain Sufri Yusuf, SH; Luhulima, SH; Nugroho
Wisnumurti, SH, LLM. dan masih banyak lagi.
X. Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 membukakan cakrawala baru yang besar bagi Indonesia. Indonesia ibarat menjadi segar-bugar. Saya sendiri sebagai anggota Pokja GBHN pada WANHANKAMNAS merasakan ada pengaruh besar dari UU No.4 Tahun 1960 Tentang Perairan Indonesia, sebagai ekspresi Wawasan Nusantara. GBHN 1973 telah menyatakan Wawasan Nusantara sebagai Modal Dasar dan FaktorFaktor Dominan dalam Pola Dasar Pembangunan Nasional. “Kemenangan” Indonesia di UNCLOS III/1982, lebih memantapkan peran Wawasan Nusantara sebagai Modal Dasar dan Faktor-Faktor Dominan dalam GBHN 1983 yang harus dipersiapkan oleh WANHANKAMNAS. Dari Wawasan Nusantara itu dapat lebih lanjut dirumuskan perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai suatu Kesatuan Politik; Kesatuan Ekonomi; Kesatuan Sosial Budaya; dan Kesatuan Pertahanan Keamanan, masing-masing dengan uraiannya yang cukup mendalam.
XI. Wawasan Nusantara memberi landasan untuk memperkukuh makna kebangsaan (nasionalisme) dan patriotisme Indonesia. Nasionalisme adalah paham yang mengutamakan kepentingan nasional, tentu tanpa mengabaikan tanggungjawab global. Bingkai daripada nasionalisme Indonesia adalah Wawasan Nusantara ini. Sementara patriotisme adalah tindakan atau perbuatan nyata dari sikap yang nasionalistis itu. Pada awal kemerdekaan nasionalisme dan patriotisme digambarkan sebagai perjuangan-perjuangan orang yang memanggul senapang, yang mengorbankan harta, darah, jiwa dan raga mereka untuk memenangkan perjuangan kemerdekaan dan keberdaulatan Indonesia. Namun bentuk dan wujud nasionalisme dan patriotisme masa kini sudah makin meluas, antara lain termasuk apa yang diperjuangkan oleh para diplomat Indonesia dalam menegaskan sovereignty dan territorial integrity Indonesia. Juga upaya-upaya keras untuk mengharumkan nama Indonesia oleh para olahragawan, seniman, ilmuwan dan juga oleh para budayawan, ahli kuliner Indonesia dan seterusnya di dunia internasional.
XII. Saat ini kita berbicara tentang telah menyusutnya nasionalisme dan patriotisme Indonesia. Integrasi dan kohesi nasional terkoyak. Bhinneka Tunggal Ika – Tan Hana Dharma Mangrwa tak lagi sepenuhnya dilaksanakan dengan penuh ketaatan. Berbagai disintegrasi nasional, dinamika-dinamika gerak konvergensi berubah menjadi gerak divergensi nasional telah terjadi oleh berbagai sebab musabab yang dapat dijelaskan, serta memerlukan solusi-solusi kedaruratan. Bahkan embrio nasionalisme sebagai tuahnya Mpu Tantular “Tan Hana Dharma Mangrwa” (artinya: tidak ada kebaktian yang mendua) – yang berarti pula tidak ada loyalitas ganda kecuali pada satu Ibu Pertiwi, telah dicemari dengan paham menyeleweng tentang dwi-kewarganegaraan. Indonesia pada dasarnya tidak mengenal loyalitas ganda, hanya mengenal loyalitas tunggal kepada satu Ibu Pertiwi. Inilah nasionalisme Indonesia. Tan Hana Dharma Mangrwa tertulis di bawah logo LEMHANNAS atas permintaan Presiden Soekarno, berarti merupakan perintah sakral dari Presiden pertama RI itu. Lebih lanjut saat ini di Indonesia, modernisasi sering diartikan sebagai “westernisasi”, bahkan pula kadang-kadang diartikan sebagai “eksklusivisme parochial” yang justru mengutuk modernisme yang mendekatkan pada puritanisme suicidal. Modernisasi seharusnya diartikan sebagai memantapkan keindonesiaan.
XIII. Nasionalisme dan negara bangsa (nation state): Di kampus-kampus saat ini berkumandang paham “the end of nation state”, dan “the borderless world”, yang sebetulnya serba ilusif, yang dapat melemahkan paham nasionalisme. “…Negara bangsa merupakan dan akan tetap menjadi wujud realistis dan final dari institusi manusia di muka bumi… kewaspadaan adalah harga kemerdekaan yang setiap nasionalis siap untuk membayarnya…”. Saat ini kewaspadaan nasional samasekali diremehkan. Paham kebangsaan meluntur.
XIV. Saya mencemaskan bahwa cukup banyak anak-anak muda kita lebih menyukai produk-produk impor, tak terkecuali menyukai pula kuliner-kuliner luar negeri yang dijajakan di Indonesia, yang penuh importcontents dan mencederai produk-produk dalam negeri. Di Amerika diperkenalkan semangat buy American, American First, dll. Di Indonesia barangkali perlu pula digaungkan “beli yang Indonesia”, “cintai produk dalam negeri”, “nikmati kuliner Indonesia”, dst. XV. Pemerintah Indonesia hendaknya tidak menggantungkan kepada produk-produk impor yang rakyat kita sendiri mampu memproduksinya. Artinya pemerintah harus mengenakan lagi “Daftar Negatif Investasi”, membatasi jenis investasi asing di Indonesia. Saya ingin mengutip apa yang dikemukakan oleh Rajni Kotari (1976), seorang filsuf India “…We need to design a strategy which not only to produce for the mass of the people, but in which the mass of the people are also producers…”.
Sekianlah. Terima kasih. Jakarta, 13 Desember 2020.
.