PIDATO KETUM MAJELIS LUHUR PERSATUAN TAMANSISWA PADA RAKERNAS 21 Desember 2020

Ki Prof. Sri-Edi Swasono

Salam dan bahagia,

I. Pengantar

Saudara-saudara peserta Rakernas, sekali lagi selamat datang dan bergabung dalam kedaruratan melalui media daring/zoom, tentu semata-mata untuk menghindari penyebaran Covid-19 terhadap kita semua. Semoga bencana pandemi ini bisa lekas berlalu.

Rakernas ini membicarakan berbagai hal penting, yang cenderung gawat agar menjadi bahan untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan pokok Tamansiswa yang bisa menjadi masukan untuk mempersiapkan materi kongres Tamansiswa yang segera datang.

Masalah Tamansiswa dapat kita golongkan menjadi dua hal. Pertama, menyangkut misi sakral Tamansiswa dalam mempertahankan ketamansiswaan sebagaimana yang filosofis-politis diajarkan oleh Ki Hadjar. Kedua, menyangkut kehidupan riil Tamansiswa dan cabang- cabangnya sehari-hari, yang sebagian besar cabang mengalami kesulitan mempertahankan dan mengembangkan kehidupan mereka, sebagian besar cabang ibaratnya hidup “bak kerakap dalam batu, hidup segan mati tak mau”. Hanya sebagian kecil, barangkali kurang dari sepuluh persen saja, yang hidup dengan kemapanan dan mampu berkembang secara memadai.

Tentu cara penanganan kedua golongan permasalahan tersebut berbeda.

II. Misi Utama Tamansiswa

Mari kita mulai dengan masalah pertama, yaitu pandangan makro, yang menyangkut misi utama Tamansiswa, sebagai berikut:

Mari kita mengingatkan diri kita masing-masing, bahwa Tamansiswa perpegang teguh doktrin “persatuan Indonesia” yang Ki Hadjar selalu bertitik-tolak dalam menyampaikan paham politik-filosofis ketamansiswaan.

Ada baiknya warga Tamansiswa memahami adagium nasionalisme: "my loyalty to my party ends, when my loyalty to my country begins". Dengan kata lain kita selalumengemban kewajiban cinta Ibu Pertiwi. Berkaitan dengan nasionalisme kita tidak bisa menghindari masalah kewaspadaan nasional. “Kewaspadaan (vigilance) adalah harga kemerdekaan, yang setiapnasionalis bersedia membayarnya”. Cobalah camkan ini. Kita harus waspada bahwa Kemerdekaan dan Kedaulatan Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan berat.

Kewaspadaan Nasional adalah kunci menyelamatkan Bangsa dan Negara dari segala bentuk penjajahan, di antaranya proxy war yang digelar di Indonesia. Saya merasa pandangan yang saya kemukakan belum direspon, kecuali oleh seorang junior kita saja dari Malang. Ia mengatakan: “kita harus dan wajib menggalakkan pelaksanaan konsep bela negara kepada seluruh generasi muda kita”.

Orang Tamansiswa tidak boleh lengah-misi, sehingga tidak peduli soal perlunya memikirkan masalah kewaspadaan nasional, yang saat ini sangat diperlukan.

Lebih dari itu terasa aneh bahwa banyak di antara kita tidak paham perlunya "belajar Merdeka", tetapi mengertinya malah sebagai "merdeka belajar", dengan kecenderunganyang mengabaikan "wajib belajar" untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh Ibu Pertiwi. Salah- salah "merdeka belajar" berubah menjadi liberalisme dan liberalisasi-pendidikan, yang justru ditentang oleh Ki Hadjar Dewantara. Orang-orang Tamansiswa wajib meluruskan kerancuan ini. "Belajar merdeka" adalah belajar untuk sepenuhnya mampu berdaulat, belajar untuk sepenuhnya mampu mandiri, belajar mampu menjadi Tuan di negeri sendiri, belajar ber- interdependensi global, bukan ber-dependensi pada kekuatan-kekuatan global.

Kita orang Tamansiswa yang harus nasionalistik dan patriotik, artinya bersikap mengutamakan kepentingan Nasional dan kepentingan Negara.

Orang Tamansiswa harus sadar akan keberdaulautan Negara (sovereignty and territorial integrity) seutuhnya.

Orang Tamansiswa harus peka akan perlunya kemandirian Nasional dan kemandirian Negara, menghindari ketergantungan pada asing (bahasa Ki Hadjar: zelf-bedruiping; Soekarno+Hatta menyebutnya sebagai: onafhankelijk).

Selanjutnya orang Tamasiswa harus terikat pada pengutamaan kepentingan Rakyat (bukan kepentingan kaum pemodal-kapitalistik), serta ikut terikat pada tujuan pemerintahan negara Indonesia, yaitu untuk “melindungi segenap Bangsa Indonesia seluruh tumpah darah Indonesia”, artinya tidak membiarkan Tanah Air-nya terjarah sejengkalpun.

Orang Tamansiswa yang mampu “belajar merdeka”, harus mampu lebih mencintai produk dalam-negeri, mencintai produk ekonomi rakyat sendiri.

Orang Tamansiswa terikat pada Bhinneka Tunggal Ika – Tan Hana Dharma Mangrwa, artinya menolak loyalitas ganda, hanya loyal pada satu Ibu Pertiwi, menolakpaham Dwi- kewarganegaraan. Orang Tamansiswa juga harus komited pada paham sakral (konsensus Konstitusi), yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang saat ini belum kunjung terwujud.

Diharapkan pula Orang Tamansiswa terikat pada paham Ki Hadjar Dewantara:

demokratie en leiderschap, yang bukan demokrasi dinasti-dinastian.

Orang Tamansiswa tetap punya pendirian teguh alias mampu bersikap prinsipieel (taat asas), tidak lembèk dan tidak mudah terbawa arus, meskipun saat ini kita berada di"zaman kebingungan", suatu zaman seperti yang telah diperkirakan bakal datangnya oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1922.

III. Apa yang terjadi di Tamansiswa, dan apa yang diharapkan oleh Tamansiswa saat ini?

  1. Tamansiswa sepertinya melupakan pentingnya kaderisasi. Akibatnya:
  2. Tamansiswa kurang mampu berperan nasional. Tamansiswa tidak melakukan pendidikan kader tangguh yang nantinya harus mampu berperan nasional.
  3. Tamansiswa sepertinya terbelenggu oleh mimpi masa lampau.
  4. Tamansiswa sering saling bertengkar, tidak rukun, juga diskriminatif, lalu bubrah melemah.
  5. Tamansiswa terbelenggu dalam keanggotaan sempit AT non-AT, yang kadang-kadang merupakan suatu “keterpaksaan” demi menjaga kelangsungan hidup. Tetapi kadang-kadang tersirat adanya kepentingan “berdinasti”. Pendidikan"Kader Nusa" dan "Kader Bangsa" pun terjurus ke tebang pilih, diutamakan hanya yang berposisi sebagai AT (suatu konsekuensi “keterpaksaan” tadi. Dalam keterpaksaan tadi Majelis Luhur karena keterbatasan dana, belum bisa berbuat banyak, gotong-royong antar cabang terkendala barang kali oleh “salah tafsir” mengenai apa makna “otonomi cabang”.
  6. Kaderisasi yang ada tidak entrepreneurial, (tidak cekatan, alon-alon asal kelakon, secara salah mengartikan nrima ing pandum, tidak mau modern(mencari alternatif) dan cenderung anti perubahan.
  7. Keanggotaan tidak meluas (menutup diri). Alumni belum otomatis menjadi anggota. Alumni juga belum dibuat terikat untuk membangun/menjaga kelangsungan hidup Tamansiswa.
  8. Sekolah-sekolah Negeri telah menjadi pesaing (pembunuh) sekolah-sekolah Taman- siswa/swasta.
  9. Tidak kunjung mampu (lengah) menyelesaikan masalah-masalah tertunda (pending matters).
  10. Perlu lebih banyak Dana besar dan manusia-masnusia tangguh untuk merubah wajah/wujud fisik Tamansiswa agar lebih mèmper.
  11. Ajaran Ki Hadjar mengenai ketamansiswaan perlu dihayati sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan-perubahan luar biasa yang telah terjadi. Kita harus mengetahui apa itu perubahan, baik telah terjadinya pergeseran paradigma dan terjadinya berbagai situasi paradoksal baru. Juga saat itu yang belum dikenal adanya Wawasan Nusantara yang dengan UNCLOS III/1982, luas Tanah Air Indonesia diakui PBB menjadi 2 ½ kali lipat, artinya kita harus mampu seperti air yang selalu ber-SBII.
  12. Perlu dibentuk Ditjen Sekolah Swasta.

 

IV. Barangkali sekedar sebagai perbandingan, marilah kita memahami kemajuan sebuah sekolah swasta lain di antara kita.

Dalam angka-angka usaha sebuah sekolah swasta di bidang pendidikan adalah sebagai berikut. Telah berdiri:

  1. lebih dari 4.500 Taman Kanak-Kanak dan PAUD.
  2. lebih dari 2.500 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
  3. lebih dari 1.500 SMP/Madrasah Tsanawiyah.
  4. lebih dari 1.100 SMA/SM Kejuruan/Madrasah Aliyah.
  5. Dan lebih dari 150 Perguruan Tinggi.

Ini berlanjut terus di bidang kesehatan, sosial, ekonomi dan seterusnya. Saya mendengar bahwa aset sekolah swasta ini mencapai ratusan trilyun rupiah.

V. Kejayaan Tamansiswa dan Kaderisasi

 

Marilah kita konkritkan, apa macamnya ukurannya "kejayaan Tamansiswa", supaya kita bisa mengarahkan dan mengejarnya serta merealisanya. Ayo kita semua menghendaki Tamansiswa "jaya" atau lebih tepat "jaya lagi", supaya kita tidak jauh ketinggalan dengan yang lain.

Pendapat Ki Supriyoko agar kita belajar dari kemajuan sekolah swasta itu dan lainnya, saya terima dengan kesungguhan hati.

Saya sedang berusaha keras mencari dana untuk membentuk kursus kaderisasi kilat, terutama untuk mengatasi persoalan golongan kedua di atas, yang tentu tumpang-tindih dengan masalah golongan pertama. Pesertanya pamong-pamong/dosen muda di antara usia 30-40 tahun. Kader didikan harus mampu untuk tidak menyalah tafsirkan tentang diktum "alon- alon asal kelakon", “ojo ngoyo”, "ngupoyo upo, nrimo ing pandum" dst dst semacamini. Kader didikan haruslah insan-insan berciri trampil, gesit, trengginas – entrepreneurial, banyak akal, inovatif dst, dst.

Sekedar contoh mengenai program Pendidikan kaderisasi:

Pada tahun 1972-1982 saya pernah bekerjasama (sebagai Direktur Indonesia) dengan The WORLD BANK untuk Kursus Kilat 3 bulan untuk menyiapkan calon-calon pimpinan BAPPEDA seluruh provinsi Indonesia. Dari pengalaman keberhasilan saya ini, marilah kita siapkan kurikulumnya dan calon-calon kadernya.

VI. Fasilitas Negara:

 

Seperti kita ketahui, cukup banyak dana tersedia pada Kemendikbud bagi SMK yang mempunyai program Sekolah Pencetak Wiraswasta. Semoga banyak SMK Tamansiswa yang menggunakan peluang ini.

Kendala kita adalah masalah kepemilikan tanah yang sudah atas nama Tamansiswa. Tidak banyak cabang-cabang Tamansiswa yang status kepemilikan tanahnya sudah atas

nama Tamansiswa. Di luar Muhammadiyah dan Maarif, bagi sekolah swasta lainnya sangat kecil kemungkinan untuk dapat mengakses program bantuan tersebut di atas,

karena alasan kepemilikan tanah yang belum atas nama lembaga.

Tamansiswa punya cukup banyak SMK yang potensial berkembang, namun lantaran kepemilikan tanahnya bukan atas nama Yayasan, tentulah tidak memenuhi syarat untuk mendapat bantuan dari pemerintah. Tetapi Tamansiswa punya SMK yang potensial, lantaran tanah bukan milik atas nama Yayasan, tentu terabaikan. Dan tidak memenuhi syarat untuk menerima bantuan Pemerintah. Usaha balik-nama terkendala oleh dana, dana untuk balik-nama memang cukup mahal.

Masalah tanah adalah pending metter, yaitu masalah tertunda-tunda berkelanjutan yang susah ditangani karena masalah sejarah dan struktural. Termassuk masalah tanah yang dijuali. Hendaknya ada hendaknya ada mekanisme baru agar tanah Tamansiswa tidak jual ataupun ditukar-guling kecuali dalam keterpaksaan dan disetujui oleh Ketum bersama-sama Waketum, Ketua MLH dan Pembimbing Daerah.

Ada lagi persoalan sesuai dengan berlakunya peraturan di berbagai daerah, yang menetapkan bahwa sekolah yang bisa memperoleh bantuan dari Pemda (barangkali juga dari Pusat) apabila sekolah yang bersangkutan minimal mempunyai muridnya 200 orang. Kita tahu banyak sekolah-sekolah Tamansiswa di berbagai cabang muridnya kurang dari 100 orang, kurang dari 50 orang, bahkan kurang dari 25 orang saja. Di samping kita perlu memintakan perhatian kepada Pemda maupun Pusat, kita sendiri harus mampu mencari jalan keluar (katakanlah suatu trobosan khusus), atau barangkali kita harus mencari bantuan tenaga ahli dari luar, agar aset - aset kita lebih berguna bagi Tamansiswa. Saya telah membicarakan hal ini dengan Panitera Umum, bahwa saya sendiri yang akan berkirim surat kepada Menteri atau Gubernur atau Bupati, atas nama keadilan dan atas nama sejarah perjuangan masa lalu, untuk memohon perhatian khusus terhadap pembatasan ini.

 

VII. Penutup

Saya sebagai Ketum menampung berbagai keluhan dari cabang-cabang, dan mencoba mengatasi serta membantunya, antara lain menampung keluhan dari Cabang Kudus. Respon saya adalah:

  1. Tamansiswa harus ada di mana-mana, tidak eksklusif dan tidak membatasi diri (tidak self- restrained). Boleh ada di berbagai partai, berbagai ormas, dan seterusnya. Yang penting jangan sampai ideologis mempartaikan dan mengormaskan Tamansiswa, tetapi sebaliknya sedapat mungkin memperkenalkan ke-Tamansiswaan atau bahkan “men-Tamansiswakan” partai atau ormas itu.
  2. Meningkatkan kader dengan kederisasi berkapasitas (yang entrepreneurial) secepat-cepatnya. Kaderisi model AT dan non-AT bagi cabang-cabang tertentu adalah suatu keterpaksaan-hidup, memang sulit dihindari dan dapat dimengerti. Namun hal ini adalah diskriminatori, terkadang mengandung kepentingan kelompok kecil (small group interest), yang bisa membuat Tamansiswa tidak berkembang. Akibatnya Tamansiswa sering terbenam dalam berdoa saja dalam kesempitan usaha: "Ya Allah jayakanlah Tamansiswa kami", tanpa upaya-upaya nyata.
  3. UST adalah "ujung tombak", yang saya harap didukung oleh perguruan-perguruan tinggi Tamansiswa kita lainnya, untuk membedah stagnasi kaderisasi. Kurikulum/silabi "kader nusa" & "kader bangsa" Tamansiswa, harus segera disusun- ulang secara substantif, menjadi suatu program kaderisasi intensif (toh kita tau caranya dan mampu).
  4. Kita harus mengusahakan agar alumni Tamansiswa merasa berkepentingan untuk mengembangkan dan menyelamatkan kelangsungan hidup Tamansiswa. Alangkah hebatnya kalau alumni Tamansiswa adalah orang-orang yang berada, katakanlah orang-orang kaya.
  5. Kaderisasi kilat/intesif ini harus segera dimulai sebelum 3 Juli 2022, untuk menyemarakkan 100 Tahun Tamansiswa. Sedikit biaya sudah tersedia, dan tentu bisa di tambah.

Sekianlah pidato saya pada Rakernas ini.

.